1) Pengertian
Pendidikan
Kamus
Bahasa Indonesia, 1991:232, Pendidikan berasal dari kata “didik”, Lalu
kata ini mendapat awalan kata “me” sehingga
menjadi “mendidik” artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam
memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Menurut
UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan
merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu lain, dalam mencapai
kemandirian serta kematangan mentalnya sehingga dapat survive di dalam
kompetisi kehidupannya. karena pendidikan adalah suatu kegiatan yang sistematis
dan terarah kepada terbentuknya kepribadian individu, di semua lingkungan yang
mengisi dan memfasilitasi ( lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat ).
Pendidikan
juga merupakan aktivitas untuk melayani orang lain dalam mengeksplorasi segenap
potensi dirinya, sehingga terjadi proses perkembangan kemanusiaannya agar mampu
berkompetisi di dalam lingkup kehidupannya (Insan Cerdas dan Kompetitif).
2) Teori-teori
Pendidikan
1.
Koneksionisme
Teori
koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike (1874, 1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada
tahun 1890-an, eksperimen Thondike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing
untuk mengetahui fenomena belajar. Dalam eksperimen kucing itu atau puzzle box
kemudian dikenal dengan nama instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau
ganjaran yang dikehendaki (Hintzman,1978).
Berdasarkan
eksperimen itu, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara
stimulus dan respon, itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R
Bond theory” dan S-R psychology of learning”.
2. Pembiasaan
Klasik(classical conditioning)
Teori
pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil
eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Povlo (1849-1936) seorang ilmuwan besar
Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909.
Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks
baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut
9terrace, 1973).
Dalam eksperimennya Pavlor menggunakan anjing untuk mengetahui
hubungan-hubungan antara conditioning stimulus (CS), unconditioned stimulus
(UCS), conditioned response (CR), dan Unconditioned response (UCR).
CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang dipelajari
CR adalah respon yang dipelajari itu sendiri
UCS adalah rangsangan yang menimbulkan respon yang tidak dipelajari
UCR adalah respon yang tidak dipelajari
3. Pembiasaan
Perilaku Respon(operant conditioning)
Teori
pembiasaan perilaku respon (operant conditioning) penciptanya bernama Burhus
Fredic Skimer (lahir tahun 1904) seorang penganut behaviorism yang dianggap
kontroversial. Tema yang mewarnai karyanya adalah bahwa tingkah Laku itu
terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu
sendiri (Bruno, 1987)
4. Teori
Pendekatan Kognitif
Teori
psikologi kognitif adalah bagian terpenting bagi sains kognitif yang telah
memberi konstribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi.
Pendidikan sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas
psikologi kognitif, ilmu-ilmu komputer, linguistik, intelegensi buatan
matematika, epistemology dan neuropsychological/ psikologi syaraf.
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal
mental manusia. Dalam pandangan ahli kognitif tingkah laku manusia tampak tidak
dapat diukur dan diterbangkan tanpa melibatkan proses mental seperti; motivasi,
kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
5. Teori
Kognitive – Gestalt – Field
Teori
kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi Kognitif. Teori ini berbeda
dengan Behaviorisme, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalh mengetahui
dan bukan respons. Teori ini menekankan pada peristiwa mental, bukan hubungan
Stimulus-respons.
Teori
Gestalt,berkembang dijerman dengan pendirinya yang utama adalah Max Werthaimer,
menurut Gestalt belajar siswa harus memahami makna hubungan anatar satu bagian
dengan bagian lainnya. Belajar adalah mencari dan mendapatkan prognanz,
menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu.
Teori
medan atau Field, menurut teori ini individu selalu berada dalam suatu medan
atau ruang hidup. Dalam medan hidup ini ada suatu tujuan yang ingin dicapai,
tetapi untuk mencapainya selalu ada hambatan.
Jadi perbedaan pandangan antara pendekatan Behavioristik dengan Kognitif adalah
sebagai berikut :
a. Proses
atau peristiwa belajar seseorang, bukan semata-mata antara ikatan Stimulus,
Respons, melainkan juga melibatkan proses kognitif
b.
b. Dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat terbatas ruang lingkupnya
misalnya belajar meniru sopan santun dimeja makan dan bertegur sapa. Peranan
ranah cipta siswa tidak begitu menonjol, meskipun sesungguhnya keputusan untuk
meniru atau tidak ada pada diri orang itu sendiri.
3) Teori Pendidikan menurut Nana S. Sukmadinata
Kurikulum
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu
kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan
teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu.
Nana S.
Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu :
1.Pendidikan
klasik,
Teori
pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme,
Eessensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan
berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya.
Teori ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses.
Isi
pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan
dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan
sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih
dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima
informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
2.Pendidikan
pribadi
Teori
pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah
memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan
potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan
minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama
pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih
berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori
pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis.
yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan
mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi
diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan
pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis),
3.Teknologi
pendidikan,
Teknologi
pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan
pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi.
Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam teknologi pendidikan, lebih
diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau
kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama.
Dalam teori
pendidikan ini, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus,
berupa data-data obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah
kepada kemampuan vocational . Isi disusun dalam bentuk desain program
atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media
elektronika dan para peserta didik belajar secara individual.
Peserta didik
berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien
tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam
masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak tugas-tugas
pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
4.Pendidikan
interaksional,
Pendidikan
interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran
manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama
dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga
berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan
interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik
kepada guru.
Lebih dari itu,
dalam teori pendidikan ini, interaksi juga terjadi antara peserta
didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran
manusia dengan lingkungannya. Interaksi terjadi melalui berbagai bentuk dialog.
Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta.
Peserta didik
mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan
interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks
kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat
rekonstruksi sosial.
3) Pendekatan-Pendekatan
dalam Teori Pendidikan
Pendidikan dapat
dilihat dalam dua sisi yaitu:
(1) pendidikan
sebagai praktik dan (2) pendidikan sebagai teori.
Pendidikan
sebagai praktik yakni seperangkat kegiatan atau aktivitas yang dapat
diamati dan disadari dengan tujuan untuk membantu pihak lain/peserta didik agar
memperoleh perubahan perilaku. Sementara pendidikan sebagai
teori yaitu seperangkat pengetahuan yang telah tersusun secara sistematis
yang berfungsi untuk menjelaskan, menggambarkan, meramalkan dan mengontrol
berbagai gejala dan peristiwa pendidikan, baik yang bersumber dari
pengalaman-pengalaman pendidikan (empiris) maupun hasil perenungan-perenungan
yang mendalam untuk melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas.
Diantara keduanya memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Praktik
pendidikan seyogyanya berlandaskan pada teori pendidikan. Demikian pula,
teori-teori pendidikan seyogyanya bercermin dari praktik pendidikan. Perubahan
yang terjadi dalam praktik pendidikan dapat mengimbas pada teori pendidikan.
Sebaliknya, perubahan dalam teori pendidikan pun dapat mengimbas pada praktik
pendidikan
Terkait dengan upaya mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan
melalui beberapa pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan
filosofi; dan (3) pendekatan religi. (Uyoh Sadulloh, 1994).
1.
Pendekatan Sains
Pendekatan sains
yaitu suatu pengkajian pendidikan untuk menelaah dan dan memecahkan
masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu sebagai
dasarnya. Cara kerja pendekatan sains dalam pendidikan yaitu dengan menggunakan
prinsip-prinsip dan metode kerja ilmiah yang ketat, baik yang bersifat
kuantitatif maupun kualitatif sehingga ilmu pendidikan dapat diiris-iris
menjadi bagian-bagian yang lebih detail dan mendalam.
Melalui pendekatan sains ini kemudian dihasilkan
sains pendidikan atau ilmu pendidikan, dengan berbagai
cabangnya, seperti: (1) sosiologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan
sebagai aplikasi dari sosiologi dalam pendidikan untuk mengkaji faktor-faktor
sosial dalam pendidikan; (2) psikologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan
sebagai aplikasi dari psikologi untuk mengkaji perilaku dan perkembangan
individu dalam belajar; (3) administrasi atau manajemen pendidikan; suatu
cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari ilmu manajemen untuk mengkaji
tentang upaya memanfaatkan berbagai sumber daya agar tujuan-tujuan pendidikan
dapat tercapai secara efektif dan efisien; (4) teknologi pendidikan; suatu
cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan teknologi untuk mengkaji
aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan efisien; (5) evaluasi
pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi
pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa;
(6) bimbingan dan konseling, suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari
beberapa disiplin ilmu, seperti: sosiologi, teknologi dan terutama psikologi.
Tentunya
masih banyak cabang-cabang ilmu pendidikan lainnya yang terus semakin
berkembang yang dihasilkan melalui berbagai kajian ilmiah.
2. Pendekatan
Filosofi
Pendekatan
filosofi yaitu suatu pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah
pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Pendidikan membutuhkan filsafat
karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata,
yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul
masalah-masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam, yang tidak
terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual, yang tidak
mungkin dapat dijangkau oleh sains. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah
tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai
pandangan hidup. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan fakta, namun
pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh
sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode
berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat
dikelompokkan ke dalam tiga model: (1) model filsafat spekulatif; (2) model
filsafat preskriptif; (3) model filsafat analitik. Filsafat spekulatif adalah
cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara
rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat
raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi
dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan
keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu
ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan
manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar
dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya,
atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan,
filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang
bermanfaat. Filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata,
istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau
gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan
secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem
berfikir (disarikan dari Uyoh Sadulloh, 1994).
Dari
kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori
pendidikan, diantaranya: (1) perenialisme; (2) esensialisme; (3) progresivisme;
dan (4) rekonstruktivisme. (Ella Yulaelawati, 2003).
Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan
keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan
dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari.
Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut ,
kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih
berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme menekankan
pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada
peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika,
sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi
kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan
perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
Eksistensialisme menekankan
pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk
memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
Progresivisme menekankan
pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik,
variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi
pengembangan belajar peserta didik aktif.
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme.
Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di
samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme,
rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir
kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir
kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini
menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
3. Pendekatan
Religi
Pendekatan
religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun teori-teori pendidikan dengan bersumber
dan berlandaskan pada ajaran agama. Di dalamnya berisikan keyakinan dan
nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk
menentukan tujuan, metode bahkan sampai dengan jenis-jenis pendidikan.
Cara
kerja pendekatan religi berbeda dengan pendekatan sains maupun filsafat dimana
cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada akal atau ratio, dalam pendekatan
religi, titik tolaknya adalah keyakinan (keimanan). Pendekatan religi menuntut
orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu yang diajarkan dalam agama, baru
kemudian mengerti, bukan sebaliknya.
Terkait dengan teori pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (1992) dalam
bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu
pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai
dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal
digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan
kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya.
Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran
filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.
Sementara
itu, Ahmad Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu
muslim yang sempurna dengan ciri-ciri : (1) memiliki jasmani yang sehat, kuat
dan berketerampilan; (2) memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu
menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu menyelesaikan secara ilmiah dan
filosofis; memiliki dan mengembangkan sains; memiliki dan mengembangkan
filsafat (3) memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela
melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati
yang berkemampuan dengan alam gaib.
Dalam teori pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan
dengan substansi pendidikan lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami,
proses pembelajaran dan penilaian yang islami, dan sebagainya. (selengkapnya
lihat pemikiran Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Persfektif
Islam)
Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan
teori pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan
menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan
memliki hubungan komplementer, saling melengkapi antara satu dengan yang
lainnya. Pendekatan semacam ini biasa disebut pendekatan multidisipliner.
A. Pengertian
Fitrah
Fitrah
berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang
artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam
Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum
ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan.
B. Fitrah
manusia
Konsep
fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat
dijelaskan dengan meninjau:
ü Hakekat
wujud manusia,
ü Tujuan
penciptaannya,
ü Sumber
Daya Insani (SDM),
ü Citra
manusia dalam islam.
Dari
hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa
menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
·
Pribadi yang aktivistik
karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada
(wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui
bagaimana pribadinya.
·
Pribadi yang
bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya,
maupun terhadap tuhan.
Dengan
kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme
(rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam melalui individualisasi dan
sosialisasi.
1. Tujuan
Penciptaan
Tujuan
utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-Zahriyah:
56).
Manusia
dicipta untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah:
30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
Manusia
dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat
menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat:
13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggung jawab
bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.
2. Sumber Daya Manusia
Esensi
SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk
lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah “kebebasan” dan “hidayah
Allah”, yang sesungguhnya inheren dalam fitrah manusia.
3. Citra manusia
dalam Islam.
Berdasarkan
uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan
penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambar secara jelas bagaimana citra
manusia menurut pandangan islam:
Islam
berwawasan optimistik tentang manusia dan sama menolak sama sekali anggapan
pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia
sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung
jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
Perjuangan
hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai arah
dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha
Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni
akal dan agama.
Manusia
makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat alat
untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir berkehendak, dan
berbuat.
C. Implikasi
Fitrah Manusia Dalam Pendidikan
1. Pemberian
stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia
ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai,
“Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual
dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia
tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif,
sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena
itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan
dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan
pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan
bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam
dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut
development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.
3. Konsep fitrah
dan aliran konvergensi
Dari
satu sisi, aliran konvergensi dekat dengan konsep fitrah walaupun tidak sama
karena perbedaan paradigmanya.
Adapun
kedekatannya:
v Pertama:
Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan,
meskipun semua itu merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan,
v Kedua:
Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan
manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.
Namun
demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku
sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas
tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala
anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting.
Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabula
rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya
manusia yang potensial
Kajian
tentang manusia telah banyak dilakukan para ahli yang selanjutnya dikaitkan
dengan berbagai kegiatan, seperti politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan,
agama dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena manusia selain sebagai
subjek (pelaku), juga sebagai objek (sasaran) dari berbagai kegiatan tersebut.
Termasuk dalam kajian Ilmu Pendidikan Islam. Pemahaman terhadap manusia menjadi
penting agar proses pendidikan tersebut dapat beerjalan dengan efektif dan
efisien.
Pengetahuan
tentang asal kejadian manusia adalah amat penting dalam merumuskan tujuan
pendidikan bagi manusia. Asal kejadian ini justru harus dijadikan pangkal tolak
dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang
kemakhlukan manusia cukup menggambarkan hakikat manusia. Manusia adalah makhluk
(ciptaan) Allah adalah salah satu hakikat wujud manusia.
Quraish
Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an
mengungkapkan pendapat Alexis Carrel tentang kesukaran yang dihadapi untuk
mengetahui hakikat manusia bahwa
“Sebenarnya
manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak
dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli bidang
keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui
beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara
utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian
tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita
sendiri.
Pada hakikatnya,
kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari
manusia kepada diri mereka hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Satu-satunya
jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu
Illahi (Al-Qur‟an)
dan As-Sunnah (Hadits Rosulullah SAW), agar kita dapat menemukan jawabannya.
Bagaimanakah perspektif Al-Qur‟an
dan As-Sunnah tentang hakikat dan fitrah manusia? Makalah ini berusaha
mengungkapkan Hakikat dan Fitrah manusia dalam perspektif Al-Qur‟an dan
As-Sunnah.
D.
Hakikat
Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an
Hakikat
manusia dalam perspektif Al-Qur‟an?
Di dalam Al-Qur‟an,
manusia merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut
asal-usul dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan hidupnya.
Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena al-Qur‟an
memang diyakini oleh kaum muslimin sebagai firman Allah SWT yang ditujukan
kepada dan untuk manusia.
Ada tiga kata
yang digunakan Al-Qur‟an
untuk menunjuk kepada manusia, 4 yaitu:
a. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan,
ins, nas atau unas.
b. Menggunakan kata
basyar.
c. Menggunakan
kata Bani adam dan Dzuriyat Adam.
Sementara
Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan bahwa istilah manusia
dalam Al-Qur‟an
dikenal tiga kata, yakni kata al-insân, al-basyâr dan al-nâs.53 Quraish Shihab.
Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat.
Walaupun
ketiga kata di atas menunjukkan arti pada manusia, tetapi secara khusus
memiliki pengertian yang berbeda:
1) Al-Insân
Al-Insân
terbentuk dari kata yang berarti lupa. Kata al-insân dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 73
kali yang disebut dalam 43 surat. Penggunaan kata al-insân pada umumnya
digunakan pada keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi,
sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena
manusia merupakan makhluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi
dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia sebagai
makhluk Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan makhluk-Nya yang lain.
Nilai
psikis manusia sebagai al-insân yang dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu
manusia dalam membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang
terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT,
Artinya:“Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya.”(QS. At-Thiin: 6)
Dengan
pengembangan nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah
Allah SWT di muka bumi. Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an mengatakan
bahwa kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan
tampak. Menurutnya pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur‟an lebih tepat
dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau
nasa-yanusu yang berarti (berguncang). Kata insan, digunakan Al-Qur‟an untuk
menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia
yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental
dan kecerdasan.
Kata
al-insân juga menunjukkan pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan
Adam maupun proses manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara
utuh dan berproses. Firman Allah:
Artinya:
“(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan
menciptakan manusia dari tanah”.
Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya”. (QS.
Shaad: 71-72)
Artinya:
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim) (QS. Al-Mukminûn: 12-13)
2) Al-Basyar
Al-Basyar
terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan
baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti
kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan
kulit binatang yang lain.
Kata
Al-Basyar dinyatakan dalam al-Qur‟an
sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat.
Kata-kata
tersebut diungkap dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual)
untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan
manusia seluruhnya.
Pemaknaan
manusia dengan Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk
biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum,
perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar ditunjukkan
kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, ini berarti nabi dan rasul pun memiliki
dimensi Al-Basyar seperti yang diungkapkan firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an Surat
Al-Kahfi ayat 110:Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku… (QS. Al-Kahfi 110)
Dengan
demikian penggunaan kata al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan dengan
makhluk Allah SWT lainnya pada aspek material atau dimensi jasmaniahnya.
3) Al-nâs
Kata
al-nâs menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk social dan ditunjukkan
kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau
kafir.
Penggunaan
kata al-nâs lebih bersifat umum dalam mendefinisikan hakikat manusia dibanding
dengan kata al-insân.
Kata
al-nâs juga dipakai dalam Al-Qur‟an
untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan
labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa
digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia saja
yang mau mempergunakannya, sementara sebagian yang lain tidak, justru
mempergunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasa-an Tuhan. Dari sini
terlihat bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu sebagai makhluk yang mulia
dam yang tercela.
Dari
uraian di atas, bahwa pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Qur‟an dengan
istilah.
Al-Insân,
Al-Basyar dan al-nâs menggambarkan tentang keunikan dan kesempurnaan manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia
merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik/jasmani), dan
immaterial (psikis/ruhani) yang dipandu oleh ruh Ilahiah. Kedua aspek tersebut
saling berhubungan.
Dengan kelengkapan dua aspek material dan immaterial di atas, manusia dapat
melaksanakan tugas-tugasnya. Disini manusia memerlukan bimbingan,binaan dan
pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral, agar kedua aspek tersebut
dapat berfungsi dengan baik dan produktif.
E.
Hakikat
Manusia Dan Kedudukannya Di Alam Semesta
Pemahaman
tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika
banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas
tentang manusia . walaupun demikian, persoalan tentang manusia ajan menjadi
misteri yang tek terselesaikan. Hal ini menurut Husein Aqil al-Munawwar dalam
Jalaluddin (2003: 11) karena keterbatasan pengetahuan para ilmuan untuk
menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia. Lebih lanjut
Jalaluddin (2003: 11) mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang
istimewa agaknya memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh rahasia.
Dengan demikian,
memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui segala aspek yang terdapat
pada diri manusia itu adalah selain keterbatan para ilmuan untuk mengkajinya,
juga dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu sendiri.
Walaupun
demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha untuk mempelajarinya tidaklah
berhenti begitu saja. Banyak sumber yang mendukung untuk mempelajari manusia.
Di antara sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Yang mana di
dalamnya banyak terdapat petunjuk-petunjuk tentang penciptaan manusia.
Konsep-konsep tentang manusia banyak dibahas, mulai dari proses penciptaan
sampai kepada fungsinya sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dalam makalah
ini kami berupaya untuk menguraikan secara sederhana tentang hakikat manusia
dan kedudukannya di alam semesta. Yang sudah tentu hal ini merupakan kajian
untuk mempejari penciptaan manusia.
F.
Hakikat
Manusia
Berbicara
tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri
makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah
disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling
istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi manusia adalah
makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan
dan syarat-syarat yang diperlukan (Jalaluddin, 2003: 12).
Manusia
mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal.
Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang
dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah
adalah sebagai amanah.
Selain
itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya
manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan,
kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual (Jalaluddin, 2003: 14).
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling
mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal,
qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan
kehidupan.
Hakikat
wujud manusia menurut Ahmad Tafsir (2005: 34) adalah makhluk yang
perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh
banyaknya potensi yang dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu
dalam dua garis besar yaitu cenderung menjadi orang baik dan cenderung menjadi
orang jahat (2003: 35).
Secara
rinci, M. Nasir Budiman (Kemas Badaruddin, 2007) mengklasifikasikan manusia ini
menjadi empat klasifikasi, yaitu:
1. Hakikat
manusia secara umum.
a. Manusia
sebagai makhluk Allah SWT mempunyai kebutuhan untuk bertaqwa
kepadaNya.
b. Manusia
membutuhkan lingkungan hidup, berkelompok untuk mengembangkandirinya.
c. Manusia
mempunyai potensi yang dapat dikembangkan dan membutuhkan materialsertas
spiritual yang harus dipenuhi.
d. Manusia itu
pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri.
2. Hakikat
manusia sebagai subjek didik
a. Subjek didik
bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasanpendidikan
seumur hidup.
b. Subjek didik
memiliki potensi baik fisik maupun psikologis yang berbeda sehinggamasing-masing
subjek didik merupakan insane yang unik.
c. Subjek didik
memerlukan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
d. Subjek didik
pada dasarnya merupakan insane yang aktif menghadapi lingkunganhidupnya.
3. Hakikat
manusia sebagai pendidik
a. Pendidik
adalah agen perubahan
b. Pendidik
berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat dan
agama.
c. Pendidik
sebagai fasilitator yang memungkinkan terciptanya kodisi belajar subjekdidik
yang efektif dan efisien.
d. Pendidik
bertanggung jawab terhadap keberhasilan tujuan pendidikan.
e. Pendidik dan
tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi contoh dalam pengelolaanproses
belajar mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek didiknya.
f. Pendidik
bertanggung jawab secara professional untuk terus-menerus meningkatkan
kemampuannya.
g. Pendidik
menjunjung tinggi kode etik profesionalnya.
4. Hakikat
manusia sebagai anggota masyarakat.
a. Kehidupan
masyarakat berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, social dan budaya yang dianut oleh warga
masyarakat. Sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifatlestari dan sebagian
lain terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmupengetahuandan teknologi.
b. Masyarakat merupakan sumber
nilai-nilai yang memberikan arah normatif kepadapendidikan.
c. Kehidupan masyarakat ditingkatkan
kualitasnya oleh insan-insan yang berhasilmengembangkan dirinya melalui
pendidikan.